Beberapa waktu lalu terjadi aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua di salah satu daerah di Jawa Timur yang saat ini mengakibatkan efek domino yang kompleks dan panjang. Diantaranya terjadi demonstrasi di berbagai daerah yang mengecam aksi rasisme, bahkan di beberapa tempat di wilayah Papua sampai terjadi kericuhan yang mengancam keamanan nasional. Menanggapi hal tersebut berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah diantaranya kepala negara yang secara terbuka meminta maaf kepada masyarakat Papua sampai dengan pemberlakuan pemblokiran akses informasi di wilayah Provinsi Papua sebagai bentuk pencegahan penyebaran hoax dan meredam meluasnya ajakan-ajakan provokatif terhadap masyarakat. Tentu permasalahan ini tidak bisa dianggap sebagai isu yang remeh, karena bila ditelisik lebih lanjut hal ini merupakan permukaan dari sebuah pergesekan masyarakat yang telah lama terjadi. Banyak masyarakat Papua sepaham bahwa mereka diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Narasi yang paling umum bahwa mereka merasa terdapat kesenjangan sosial yang sangat kentara antara penduduk Papua dan penduduk di belahan Indonesia lainnya. Apalagi apabila dibandingkan dengan penduduk di pulau Jawa, sungguh perbedaan yang sangat kentara dari berbagai sisi baik secara ekonomi, sosial maupun pendidikan.
Dalam tinjauan ilmu psikologi rasisme merupakan bentuk khusus dari prasangka yang ada dalam diri setiap manusia. Prasangka adalah sebuah sikap yang biasanya negatif terhadap anggota kelompok sosial yang lain. Dalam hal ini prasangka pada kasus konflik dengan masyarakat Papua adalah bentuk prasangka karena perbedaan kelompok ras. Prasangka pada umumnya ada pada setiap pemikiran manusia, dan hal ini dapat mempengaruhi cara seseorang dalam merespon orang lain dan berperilaku. Di era modern saat ini, rasisme berubah menjadi sesuatu hal yang halus tetapi mematikan. Rasisme modern berusaha untuk menutup-nutupi prasangka di tempat-tempat umum, tetapi mengekspresikan sikap-sikap mengecam ketika hal itu aman dilakukan. Dan hal ini terjadi pada kasus pengepungan asrama mahasiswa Papua oleh ormas dan oknum. Dikutip dari berbagai berita pada mulanya konflik dipicu oleh pembuangan dan pengrusakan bendera lambang negara Republik Indonesia. Hal ini memicu kemarahan beberapa pihak dan terjadilah aksi pengepungan. Banyak pihak yang menyatakan bahwa aksi pengepungan dapat dibenarkan karena yang bersangkutan merasa membela lambang negara, namun bila dicermati lebih lanjut hal ini sebetulnya didasari oleh keyakinan bahwa anggota etnis atau ras Papua dianggap berbeda yang tidak dapat diterima oleh mereka. Hal ini diperkuat dengan nyanyian-nyayian rasisme yang dilantunkan oleh para pelaku saat menggelar aksi. Para pelaku pengepungan menyuburkan prasangka dalam diri mereka sehingga respon atas permasalahan yang terjadi berubah menjadi perilaku diskriminatif dan justru menimbulkan efek domino yang pelik.
Adapun sumber prasangka dalam diri individu diantaranya disebabkan oleh terjadinya konflik secara langsung dengan kelompok lain seperti persaingan dibidang ekonomi, sosial, pendidikan dan sebagainya. Namun justru kebanyakan rasisme dan prasangka terjadi disebabkan oleh proses belajar. Salah satu tokoh psikologi Albert Bandura menjelaskan sebuah pandangan tentang pembentukan perilaku seseorang disebabkan oleh proses belajar sosial atau social learning. Dimana seseorang dapat terpapar akan pandangan dan sikap rasisme karena mereka mendengar pandangan tersebut diekspresikan oleh orang tua, guru, teman dan orang lain. Secara tidak disadari lingkungan masyarakat menguatkan pembentukan sikap rasis di dalam budaya mereka sendiri. Sebenarnya wajar bagi manusia untuk membagi diri sosial ke dalam kategori sosial, berupa ‘kita’ dan ‘mereka’ . Hal ini karena kemampuan ini adalah kemampuan dasar manusia. Tetapi jika proses ‘membedakan’ ini selesai sampai upaya membedakan saja maka prasangka tidak akan muncul. Sayangnya pembagian tersebut berlanjut dengan memberi label kepada kelompok seperti ‘in group’ lebih baik daripada ‘outgroup’ atau pun bahwasannya kelompok ‘out group’ diidentikkan dengan keyakinan-keyakinan yang lebih negatif.
Seperti yang penulis jelaskan diatas bahwasannya mengkategorikan adalah kemampuan dasar dari manusia. Sehingga prasangka sudah pasti bukanlah sesuatu yang dapat dihindari seseorang atau kelompok masyarakat di belahan dunia manapun. Manusia tidak dapat menghindari prasangka dalam diri mereka, namun yang paling mungkin dilakukan adalah mencegah agar prasangka itu tidak tumbuh menjadi perilaku yang diskriminatif. Adapun cara-cara untuk memutuskan siklus prasangka yaitu belajar untuk tidak membenci, melakukan kontak antar kelompok secara langsung, mengurangi stereotip-stereotip di dalam pemikiran dan mengabaikan perbedaan antar kelompok. Menyadari akan setiap perbedaan dengan bertanya apabila ada hal yang mengganggu akan membuat seseorang terhindar dari asumsi bahwa perbuatan orang lain disebabkan oleh sesuatu seperti yang difikirkan. Selain itu membiasakan diri dengan mempelajari atau mengkaji lebih dalam kebudayaan dan kebiasaan orang lain akan membuat individu lebih siap untuk menerima perbedaan.