Milenial adalah generasi yang identik dengan teknologi. Dalam kehidupan sehari-hari generasi milenial inilah yang paling merasakan berbagai kemudahan yang diberikan dalam revolusi industri 4.0 ini. Merekalah yang paling melek dengan teknologi, cerdas dalam mengoperasikan perangkat, multitasking namun terdapat perbedaan yang kentara sekali dengan generasi sebelumnya yaitu hilangnya sebuah sikap empati yang biasanya akan membawa pribadi seseorang menjadi peka dan santun terhadap lingkungan. Lalu mengapa bisa menjadi demikan ? Banyak para ahli telah mengemukakan pendapatnya bahwa generasi milenial kurang dipaparkan akan pendidikan karakter, terlalu sering berinteraksi dengan kemudahan teknologi membuat mereka enggan berinteraksi sosial. Semua pendapat ini ada benarnya, namun disini penulis akan mengemukakan lebih lanjut dalam perspektif psikologi perilaku atau teori belajar yang dikenal sebagai aliran behaviorisme dalam ilmu psikologi.
Dalam sudut pandang teori belajar, perilaku seseorang terbentuk akibat adanya penguatan dan hukuman. Penguatan disini berupa penguatan yang bersifat positif dan penguatan yang bersifat negatif. Penguatan positif bermaksud untuk memberikan sebuah penguat agar perilaku yang diharapkan akan diulang. Contohnya pada orang tua yang hendak memodifikasi perilaku anak misalnya, orang tua memberikan pujian kepada anak setelah anak tersebut melakukan perilaku yang diharapkan. Kemudian anak menjadi senang, dan sang anak di kemudian hari akan mengulangi perilaku tersebut. Sedangkan penguat negatif berupa penghilangan atau penyingkiran aspek-aspek yang akan menghambat perilaku yang diharapkan muncul. Yang perlu digarisbawahi disini adalah penguat negatif berbeda dengan hukuman. Penguat negatif akan menguatkan perilaku yang diharapkan muncul sedangkan hukuman lebih kepada konsekuensi apabila perilaku yang tidak diharapkan yang muncul. Contohnya pada orang tua yang menginginkan anaknya rajin belajar, dengan memberikan penguat negatif orang tua tersebut menyingkirkan hal-hal yang menghambat anak dalam belajar seperti suasana kamar yang kurang nyaman atau dengan tidak menuntut anak untuk mengikuti kegiatan les yang tidak disukainya. Sedangkan hukuman berupa bila anak malas belajar orang tua dapat memberikan sanksi berupa menyita permainan kesukaan anak dalam jangka waktu tertentu atau memberinya tugas pekerjaan rumah sebagai konsekuensi akibat perilaku yang tidak diharapkan---perilaku tidak mau belajar. Dari ketiga konsep di atas, dapat menjelaskan mengapa sekiranya anak-anak milenial kurang dalam segi soft skill atau character strenght berupa sifat empati atau peduli terhadap permasalahan orang lain.
Dalam segi penguatan positif, kemampuan berempati sepertinya tidak mengalami penguatan positif selama dekade pendidikan para milenials. Terbukti dengan pendidikan di sekolah-sekolah formal beberapa dasawarsa terakhir ini bahwa yang terpenting adalah kemampuan akademik. Dimana kita tahu banyak anak-anak kita---di Indonesia---banyak meraih penghargaan dalam olimpiade-olimpiade baik dalam kancah nasional sampai dengan internasional, namun banyak anak yang kesulitan untuk mengantri, berbagi dengan teman, membantu orang tua dalam pekerjaan rumah. Anak-anak banyak disibukkan dengan kegiatan akademik, selain mengikuti kegiatan sekolah formal juga mengikuti les atau bimbingan belajar. Metode pendidikan ini tampaknya didukung pula dengan pola perilaku orang tuanya dimana terpengaruh pula dengan isu gender dan revolusi industri dimana saat ini para orang tua, khususnya orang tua perempuan atau ibu sudah tidak asing lagi dengan konsep bekerja di luar rumah. Hal ini memiliki sebuah efek samping sosial dimana terjadi kekosongan pengasuhan. Maka anak yang seharusnya dikenalkan sebuah konsep tata nilai perilaku maupun moral menjadi tidak maksimal atau bahkan tidak terpapar sama sekali, termasuk di dalamnya konsep empati. Inharmonisasi keluarga dan disfungsi keluarga akan rawan terjadi pada dekade ini karena semua orang berlomba-lomba mendahulukan kebutuhan materialnya ,bahkan beberapa ahli antropologi mengenalkan konsep yang lebih ekstrem yaitu ‘matinya sebuah keluarga’.
Berikutnya penguatan positif di masyarakat kita terhadap sikap empati justru semakin berkurang, terbukti dari banyaknya berita hoax yang disebarkan oleh para pengguna digital atau warganet. Dengan mudahnya seseorang membagikan sebuah berita bohong, mereka tidak memikirkan akibat dari tindakan tersebut---yang mungkin saja dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Kemudian perilaku saling hujat di sosial media karena sebab-sebab yang sebetulnya sepele, hal ini merupakan bukti konkret bahwa penguatan positif terhadap munculnya sebuah sifat empati kini sudah hampir punah di telan jaman. Mengembangkan sebuah pemikiran bahwa sepertinya empati di jaman ini sudah tidak punya nilai jual lagi. Penguatan negatif juga sepertinya tidak mendukung perilaku empati itu muncul pada generasi milenial. Penguatan negatif berupa sikap egois dan apatis justru semakin subur di era ini. Sikap egois dan apatis yang menghambat munculnya sikap empati pada dewasa ini justru menjadi suatu hal yang lumrah di masyarakat kita. Terakhir adalah hukuman, dimana saat ini hukuman pada sikap yang tidak empati terhadap orang lain tidak memiliki konsekuensi tertentu. Ini didukung oleh paham individualistik dimana kita seharusnya tidak mencampuri urusan orang lain. Namun hal ini menjadi semakin tidak terkendali saat sebuah ketidakpedulian dianggap lebih baik daripada peduli. Maka menjadi tidak empati adalah hal yang tidak memiliki konsekuensi apapun---menyebabkan tidak empati menjadi perilaku yang akan diulangi kembali.
Maka dari permasalahan empati dan generasi milineal sebaiknya perlu dicarikan solusi yang efektif dan komprehensif. Perlu peranan berbagai stakeholder untuk turun langsung menanggulangi dimulai dari lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan formal dan non formal serta masyarakat. Salah satu solusi diantaranya berupa merancang dan menyisipkan kurikulum berbasis soft skill yang dicanangkan mulai dari pendidikan anak usia dini sampai dengan perguruan tinggi. Hal ini penting, karena apabila tidak ditangani atau dibiarkan begitu saja bukan tidak mungkin kita menjadi bangsa yang kehilangan ruhnya sebagai bangsa yang ramah dan menghargai satu sama lain atau kehilangan kebhinnekaannya.